Wednesday, April 13, 2016

Seri Pendidikan: Membandingkan Kurikulum (Bagian 1)



"Coba lihat tuh pendidikan di luar negeri. Mereka itu ini, ini, dan ini..."

Ucapan tersebut memang sebelumnya sering saya dengar dari berbagai teman dan kenalan saya, atau bahkan mungkin dari diri saya sendiri. Sebagai (mantan) penganut kurikulum 2013, wajar saja saya dan teman-teman saya pernah mempertanyakan kualitas kurikulum baru di negeri saya sendiri. Tetapi, saat mengeluh dan mencoba membandingkan dengan negara lain, biasanya saya dan teman saya hanya berasumsi atau membicarakan rumor-rumor yang pernah kita dengar. 

Dalam bulan-bulan pertama saya disini pun, berhubung saya memiliki kesempatan untuk mendengar langsung dari orang-orang ‘luar negeri’, saya pun sering membicarakan tentang hal ini dengan teman-teman saya. Dan oleh karena itu, dalam beberapa tulisan ke depan ini saya akan mencoba membandingkan pendidikan di Indonesia dengan pendidikan di luar negeri. Apakah benar separah itu? Apakah pendidikan Indonesia benarlah ‘terburuk’ seperti yang sebagian kita aku-akui? Atau apakah Indonesia sebenarnya cukup bagus? Jadi, mari kita ke bagian pertama!

1. Mata Pelajaran 
Secara kuantitas, banyak orang yang bilang kalau jumlah mata pelajaran sebanyak 15 di Indonesia itu terlalu banyak. Saya pun bisa dibilang setuju dengan kalimat tersebut. Secara, saya sendiri sekarang menganut kurikulum International Baccalaureate yang dimana siswanya hanya memiliki 6 mata pelajaran dan itu pun bisa dipilih. Tapi, apakah semua pendidikan di “luar negeri” seperti ini? Tidak.
Saat berdiskusi dengan teman-teman saya, memiliki belasan mata pelajaran yang tidak dipilih adalah hal biasa, baik itu di negara berkembang maupun negara maju. Bahkan, gilanya, ada juga kurikulum Eropa yang memiliki sampai 20 mata pelajaran

15 mata pelajaran memang tetap lah banyak, tetapi saya merasa pemerintah juga memiliki alasan untuk memilih mapel-mapel tersebut dan tidak semata-mata untuk memberi beban (ini memang mengundang pro & kontra). Tapi setidaknya, kita tahu bahwa Indonesia tidak lah ‘terparah’ dalam hal ini.

Kalau membicarakan kualitas mata pelajarannya sendiri, jawabannya sendiri relatif. Perbandingannya bisa dibilang seperti ini: kurikulum Indonesia tuh luas tapi cetek, sedangkan disini itu gak terlalu luas tapi dalam. Di Indonesia, saya ingat sekali bahwa saya harus banyak menghafal. Sedangkan disini, saya tidak perlu menghafal banyak, tetapi saya dituntut untuk lebih memahami konsep-konsep. 

Ambil contoh, Biologi. Di mata pelajaran biologi, disini saya memulai dari dasarnya yaitu biokimia, lalu mempelajari organel dan sel, kemudian mempelajari respirasi sel, replikasi sel, fotosintesis, dan baru di tahun kedua kami mempelajari fisiologi manusia. Jadi segalanya seperti tertata dan beralur. Memang, hafalan tetap lah ada. Tetapi dengan diajarkan konsep dasarnya, menghafal istilah pun terasa lebih mudah. Sedangkan di Indonesia, hafalannya itu sangat banyak, dipenuhi dengan istilah-istilah yang tidak diajari di dalam kelas dan tidak membantu membangun pemahaman.

Di sisi lain, kurikulum Indonesia juga unggul dalam beberapa bidang, terutama sains. Saya sangatlah terbantu dalam sains disini karena pernah mengenyami pendidikan Indonesia sebelumnya. Padahal disini ada beberapa teman saya yang sebenarnya jenius tapi terhambat belajarnya karena mereka tidak banyak mempelajari ilmu eksak sebelumnya. Tetapi, ini juga bisa berarti Indonesia terlalu banyak memberi tekanan dan fokus di bidang sains.

Itulah yang saya sayangi. Dibandingkan dengan beberapa teman disini, saya merasa saya cukup ketinggalan dalam bidang-bidang selain sains. Saat saya sampai disini, saya tidak tahu menahu apa itu kapitalisme dan komunisme. Saya tidak tahu menahu banyak sejarah dunia dan apa yang sedang terjadi di dunia. Saya pun tahu mengenai sustainability, atau keberlanjutan, baru setelah saya sampai disini. Di kelas sastra pun, saya merasa canggung karena di Indonesia saya hanya terbiasa menganalisa unsur intrinsik dan sebagainya, sedangkan disini kami menganalisa hal-hal yang lebih komplit, seperti peran takdir dalam pengembangan cerita Romeo dan Juliet. Dan saya rasa inilah salah satu alasan mengapa kita punya banyak mata pelajaran, dan penerapan pengajarannya saja sedang dalam tahap pengembangan.

Jadi, kalau disimpulkan, dalam segi mata pelajaran, walaupun Indonesia memang belum sehebat negara-negara maju, it's not that bad dan Indonesia sedang menuju ke arah yang lebih baik (semoga). :) See you on the other part!

1 comment:

  1. haii kaakk...kapan update humans of RBC lagi nih ? hehe ^^

    ReplyDelete